Translate...

Minggu, 30 Oktober 2011

Perempuan Ditingkap Purnama



Cerpen Satmoko Budi Santoso

Bukankah sudah lama kita duga
di loteng ini tak ada surga
dan kau, aku, mereka, tak mencarinya *


1.
IA melirik ke dalam makam, begitu sampai di pintu keluar. Angin berkesiur, meruapkan bebauan bunga kamboja. Cahaya petang berkeredap. Nisan yang ia lirik dari kejauhan telah berganti nama dirinya. Ia lega. Sudah bertahun-tahun ia tak menziarahi nisan itu, sampai ditandai dengan rambut yang memutih, bercak recak pada pipi bulat-bulat menghitam, dan sorot mata yang dirasakannya tambah merabun.

"Ada yang layak ditebus dalam perjalanan usia, tanpa berterus-terang," demikian ia mengigau, begitu sampai di tepi persimpangan tiga danau, menyalakan obor, kembali menaiki sampan. Tak boleh sampai gelap-pekat ia mesti tiba di tepi seberang, tak alpa menyalakan lentera di dalam rumahnya yang kumuh, berloteng penuh hilir-mudik keriut suara tikus.

Dulu, ia memang mengutuk diri sebagai perempuan laknat, karena setiap kali hamil tua sengaja mandi di bawah bulan purnama, di pinggir sumur, di luar kamar mandi. Orang-orang kampung di tempat bermukimnya tahu, jika ada perempuan hamil tua yang mandi di bawah bulan purnama, pasti bakalan kehilangan bayi. Setidaknya, bayi yang dilahirkan akan cacat. Pokoknya, siallah. Namun, ia tak menggubris keyakinan itu, dan benarlah, tiga anaknya menjumpai mala selama hidup. Anak pertama, lahir tanpa menangis, malah mendesis, seperti ular. Tak sampai tali pusarnya putus, mati pula. Anak kedua, hanya mampu hidup empat bulan, terserang diare dua minggu, dan menyusul mati seperti kakaknya. Anak ketiga, tentu lebih mengerikan nasibnya, mati mengenaskan dimakan buaya ketika sedang sendirian mandi di tepi danau. Agak lumayan, waktu itu usianya sempat sampai sepuluh tahun.


2.
DI masa tua, seperti yang terlalui dalam hari-hari dua tahun terakhir ini, kesibukannya yang rutin hanyalah keluar-masuk hutan, mencari kayu bakar dan berkebun, di sepetak tanah belakang rumah. Ia menghindar dari keramaian orang-orang kampung. Ia tak mau menghadiri acara apa pun yang digelar orang-orang kampung di paseban. Bahkan, tempat bermukimnya pun ia pilih menjorok, di dekat hutan. Bolehlah orang-orang kampung menyebut dirinya sebagai nenek yang menyelimpang dari jalan yang lazim, paling tidak dari kewajaran hidup sehari-hari.

Jangan tanya, tak pernah ada surat yang datang, yang dulu bisa sebulan sekali. Entah dari kerabat, entah dari sanak-keluarga. Karena surat-surat yang datang tak pernah dibalas, lumrahlah jika ia didiamkan saudara-saudaranya.


3.
PADA suatu malam, bulan purnama kembali bersinar. Cahayanya berkilau memutih, seolah-olah memantul di kelengangan air danau, tempat anak bungsunya dimakan buaya. Ia tepekur menatap danau, tanpa harus mengingat-ingat kematian anaknya, yang tinggal kepalanya tersungkur di tepian, sempurna dengan matanya yang melotot, mengalirkan sisa sembab air mata.

Aneh, ia malah bermain mata dengan buaya-buaya yang ada di danau itu. Ia tahu, mata buaya akan menyala jika malam hari, seperti lampu neon sepuluh watt. Tak sampai hitungan enam pasang, biji-biji mata buaya itu berjajar rapi. Tentu, bukan salah satu dari buaya itu yang telah membunuh anaknya, karena buaya yang membunuh anaknya sudah lama mati. Namun, memang buaya-buaya itulah yang beranak-pinak, sengaja tak dibunuh meskipun mereka selalu sigap membunuh.

Ia bersitatap dengan para buaya, di tepi danau yang elok indahnya. Dingin merajam jangat kulit. Kalau siang sampai sore hari ia masihlah berani menyeberangi danau itu, sekalipun ada buayanya. Ia merasa bisa menyiasati buaya-buaya yang baginya tak begitu membahayakan. Tapi, kalau malam telanjur menggelap-pekat, ia tak mau melawan kehendak alam. Ia sadar, pada saat-saat tertentu alam bakalan keji. Tak terduga, tak tertebak.


4.
FOTO-FOTO anaknya begitu lucu, terutama yang bungsu. Berkalung tulang sapi berbentuk tengkorak, berbaju kelombor tak pernah dikancingkan, bercelana gombrong, demen membawa ketapel. Ia akan memandangi foto-foto itu kalau pas kangen, di malam hari sebelum merebahkan diri, setelah berlama-lama mengaca-wajah, mengurut pipi kanannya yang penuh recak, bekas luka akibat ditampar dan dipukul ganas tangan lelaki. Sembari menyibakkan geraian rambut ke kanan dan ke kiri, ia termangu, tanpa tersedu-sedan. Masih ada sisa kelucuan yang menggerakkan kelenjar saraf ketuaannya, apalagi jika foto-foto yang ia lihat pas anak bungsunya berkacak pinggang. Atau, ketika menenteng burung hasil buruan dengan ketapel. Hmmm, seakan tak ada jarak dengan waktu yang silam, karena kangen terlampau menunjam dada.

Ia mendesah, mengucek mata, mengantuk. Malam seperti kelebat malaikat berjubah hitam. Lentera kamar ia matikan, ia tak dapat tidur tanpa kegelapan.


5.
ORANG-ORANG kampung pernah mau mengusirnya ketika ia dianggap sebagai dukun, tersebab kebiasaannya tak mau bergaul. Rumahnya juga dianggap sebagai maktab ilmu hitam, karena satu-dua orang asing entah dari kampung mana sesekali bertamu. Hampir saja ia dan rumahnya dibakar, seandainya tak bisa menjelaskan secara baik-baik tentang kebiasaannya. Untunglah, pada akhirnya kecurigaan dan kemarahan orang-orang kampung mereda, bahkan memaklumi. "Biarlah, ia uzur, siap berkalang tanah, bau kain warna ganih. Sesuka hatilah ia gembira, sebagai bekal maut," demikian sesepuh kampung berujar, bernilai jimat agar tak mengobarkan amarah.

Ia bersyukur. Tuhan berpihak kepada pendiriannya. Ia bersimpuh, tanpa harus kerepotan berjalan tertatih, memasuki tempat ibadah.


6.
MALAM yang ke sekian. Bulan purnama gagal berkilau, terhalang mendung semenjak sore. Purnama kesekian yang mengingatkannya pada ringis tangis anak-anaknya yang memecah keheningan rumah. Purnama yang dulu selalu ditandai lolong anjing yang memanjang, sebelum ia mandi tepat ketika pergantian malam, pergantian hari.

Sesekali ia malah berdendang, jika mengingat semuanya yang telah berubah. Dendang yang ia alunkan seirama seorang tua yang sedang menimang-nimang, menidurkan anaknya sembari digendong. Ada saat-saat untuk menujah/ Jejak tapak pada luka lama/ Kilah maksud teringinkan/ Pada rajam kecewa yang menganga // 

Bedanya, kini ia mendendangkan syair tersebut jika pas mengaca-wajah, seperti malam itu, karena gagal mengharap purnama. Ah, sebentar lagi hujan...


7.
DINGIN njekut benar-benar mengabarkan hujan. Membasahi hutan, membasahi tanah. Memperbanyak rawa, mengeruhkan danau. Ia cuma berharap, semogalah hujan tak sampai pagi, bahkan siang hari. Semogalah hujan turun sebentar saja, asal basahlah tanah, asal terguyurlah bumi. Kalau berlama-lama, pasti ia juga yang kerepotan. Jalan ke hutan yang becek bakalan membuatnya terpeleset.

Begitu. Begitulah dari hari yang satu ke hari yang lain, semau-mau ia menapak. Berkali-kali telah ia robek ingatan atas sosok seorang lelaki. Telanjur ia kutuk sang lelaki dengan menyantet, kemampuan yang ia dapatkan ketika sebulan pernah berguru kepada seorang kakek, dulu, pada suatu masa, di lereng sebuah bukit. Jika tahan, karena kuat puasa mutih empat puluh hari empat puluh malam, tentulah siapa pun dapat melihat benda-benda yang ia terbangkan untuk menyantet. Paku payung, silet, gunting, maupun pisau dapur bukanlah benda-benda yang mengejutkan jika suatu saat bersliweran.

Benda-benda itu adalah benda-benda intim yang kapan pun bisa ia sarangkan ke dalam perut. Yang menggembirakan, kesemua benda itu telah bersarang di perut lelaki yang nama nisannya telah ia ganti. Dulu, lelaki itu mempecundanginya dengan berbohong tak pernah menggumuli perempuan selain dirinya. Padahal, secara sembunyi-sembunyi, ternyata telah beranak-pinak dengan salah seorang perempuan buruh ladang pemetik daun teh. Hmmm, tanah-ladang miliknya sendiri, yang juga telah ia lupakan, seiring kemauan mengubur kenangan atas wajah seorang lelaki. Entah siapa pun orang kampung yang melanjutkan merawat ladang teh itu ia rela. Entah mungkin saja hanya jadi bongkahan tanah kosong. Entahlah.....


8.
DESIR angin malam merambati celah pori-pori tangan dan wajahnya. Ia menguap. Mengatupkan mulut. Memejamkan mata. Mimpi? Sudah berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun ia tak pernah lagi bermimpi. Ah, mungkinkah ia sengaja mengganti nama nisan suaminya karena diam-diam tetap merasa berdosa? Atau, justru melengkapkan kesalahan dengan sama sekali tak peduli akan surga? Begitukah gugatannya terhadap ingatan usia? ***
*) Petilan sajak Hiroshima, Cintaku karya Goenawan Mohamad dalam antologi Asmaradana (Grasindo, 1992).

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 

Horas....!!! tuhita sasudena....Selamat Datang kawan-kawan..

Selamat datang di situs blog saya, maaf atas kekurangannya atau saya dianggap sok atau yang laennya, sebenarnya saya membuat blog ini sebagai tempat belajar saya, sebagai tempat memuaskan rasa penasaran tentang semua yang ingin saya ketahui Selengkapnya tentang saya

Sedikit Profil tentang saya

Nama Saya Raja inal ritonga, saya seorang siswa SMK S.Harapan Al-washliyah Sigambal.Saya jurusan komputer, Yang terletak di Rantau Prapat,Medan,Indonesia

Info